Di manapun kaki berpijak dalam kumpulan khayalak, semua mata pasti terpikat oleh keindahan. Daya pikat mengundang pandangan tulus, bukan pandangan terkejut terpatik gaduh. Mata memiliki inti yang meilih satu pemandangan.
Saat menatap gunung mata memilih puncak bermahkota awan, saat menatap laut mata memilih gulungan ombak berbuih, saat mencermati perempuan mata memilih paras selaksa makna kecantikan.
Paras memiliki pesona utama dalam mengartikan tubuh perempuan. Seindah apapun tumit kaki, selentik apapun jemari di tangan, mata tak bisa berpindah dari wajah. Paras mengandung seribu hiasan, lesung pipi, lancip dagu, mancung hidung, semua menyatu menjadi pesona utama. Tak terhitung berapa banyak kosmetik hanya untuk pipi, bibir, bahkan warna untuk celak mata sehingga menjelma menjadi sebuah sasaran tatapan nan indah tak sudi terlewat meski sekejap.
Kecantikan bagi setiap orang berbeda penilaian, ada yang suka imut, manis, dan ada yang tanpa kata, hanya enak dipandang. Tiap penilaian mengacu pada daya pikat utama perempuan, tapi justru karena hal tersebut kecantikan tak mesti berparas oval, tak harus bermata bundar, berpipi busung berlesung.
Sudah menjadi tabiat dasar jika perempuan berhias, keanehan justru tumbuh jika ada perempuan acuh, tak peduli meski hanya mengoles madu di bibir. Suami lebih tersenyum melihat istri lebih mempesona, lebih ingin berdiam di rumah melihat istri tak ada bandingannya. Bukankah dianjurkan bagi istri untuk mengubah penampilan memperbaharui kecantikan demi pasangan.
Yang patut untuk dituntut justru kata minimalis dalam menghias paras. Bibir sudah padam, jangan dibakar merah kelam. Kulit coklat manis memiliki satu tarikan tersendiri, tapi jangan memindah bedak untuk menjadi putih. Bulu mata sependek apapun sudah lentik.
Bukan tanpa akibat jika berdandan berlebihan. Awal berlebih menjadikan keharusan untuk terus berlebih saat dandan. Kesan yang datang bukan kecantikan, tapi ingin menarik orang. Orang memandang bukan terkejut karena takjub, tapi terkejut terjebak satu pertanyaan, “Apakah ini paras yang sesungguhnya?”
Berhias berarti memperindah, berlebih berarti menumpuk keindahan menjadikan yang memandang bias mencari inti kecantikan. Intinya bukan putihnya, bukan lesungnya, bukan mancungnya, tapi kesatuan paras yang sesungguhnya, bukan membuat kedok baru menjadikan perbedaan antara pipi dan tangkai leher.
Sudah menjadi sebuah hukum jika memiliki mawar harus rela tertusuk durinya. Memandang mata bak boneka, harus rela menerima pipi terlalu busung mengembung.
Daya pikat bukan sebuah muara, tapi hulu yang menjadikan orang menyisir tepian. Daya pikat hanya menjadikan orang mendekat, tapi belum tentu melekat. Tak jarang setelah itu justru menjauh. Ia adalah tarikan utama, namun belum pasti setiap wanita memiliki perekatnya.
Gunung adalah paras, awan menyelimut adalah berhias. Jika gunung meletus, semua yang mendaki lari demi keselamatan. Jika gunung tetap memendam kesunyuian, setiap yang duduk di puncak berharap untuk dapat mendiami habiskan sisa hidupnya.